Sudah 5 bulan berlalu tetapi tetap ditulis untuk kenangan
Ini kehamilan ke 4, kehamilan yang didahului dengan membaca bukunya Landrum B. Shettles “how to choose the sex of your baby
 “ dan tentunya dengan doa yang tidak sedikit. Perkiraan lahir adalah 
tanggal 5 November 2016, akan tetapi sejak memasuki minggu ke 32 perut 
sudah terasa kencang dan kontraksi palsu sudah rajin menghampiri. Selama
 kehamilan kontrol terajin adalah ke Dr Titin di RS MK Cikarang, 
diselingi ke Dr.Irwan di RS PK Jababeka, sempat juga mencoba ke Dr Emi 
di klinik IK Jababeka.  Aku tetap berharap bisa melahirkan normal dan 
gentle seperti kakaknya, kali ini tanpa senam hamil, dan hanya yoga 
sendiri plus rajin goyang inul di Gymball. 
Minggu
 ke 36 cuti melahirkan sudah diambil dengan pertimbangan persiapan untuk
 melahirkan normal. Meskipun persiapan melahirkan jadi terganggu dengan 
emosi yang mirip roll coaster karena asisten di rumah yang tidak sesuai 
harapan. Setiap malam sudah tidak bisa tidur nyenyak karena kontraksi 
bahkan aplikasi “kontraksi nyaman” yang diinstal di hp sudah menyarankan
 untuk segera menghubungi provider kesehatan. Tapi kontraksi menghilang 
kembali, dan begitu berulang ulang. Sebenarnya kedua kelahiran terdahulu
 selalu melewati due date yang lumayan ekstrim yaitu 2-3 minggu. Tapi 
kehamilan kali ini berharap sekali bisa melahirkan cepat, apalagi pada 
usia 37 minggu menurut bidan di faskes BPJS kepala bayi sudah masuk ke 
panggul.
Dua minggu awal masa cuti 
diisi dengan mendaftarkan BPJS calon baby dan mencoba pelayanan control 
kehamilan ke dokter kandungan dengan menggunakan BPJS. Beberapa review 
yang sudah dibaca sepertinya pelayanan BPJS lumayan ok untuk periksa 
kehamilan. Riwayat melahirkan dengan operasi SC pun memudahkan untuk 
mendapatkan rujukan ke dokter kandungan. Sayangnya Dr Titin dan Dr Irwan
 prakteknya di RS yang tidak menerima BPJS. RS OI Cikarang akhirnya di 
pilih untuk memeriksa kehamilan diusia 38 minggu yang sudah diiringi 
kontraksi berkali kali.
Dokter H 
yang memeriksa sungguh diluar dugaan, apalagi setelah menanyakan riwayat
 kelahiran Dininove(anak ke 2) yang lahir normal, home and waterbirth 
dan berjarak 2.5 tahun dengan operasi SC kakaknya. Sambil asyik 
mengintip dedek bayi beliau menceritakan mengenai ngerinya rupture rahim
 sebagai resiko melahirkan normal setelah SC. ``untungnya anak dan ibu 
selamat ya``….
Meskipun gondok dan 
emosi, tapi aku bisa tersenyum, dan hanya mengiyakan tanpa mendebat. 
Tapi sebenarnya karena ada inang mertua ada disitu mendampingi jadi jaga
 image sedikit ceritanya. Harus SC secepatnya dalam 3 hari dan habis itu
 steril serta disarankan  untuk CTG(CTG dengan biaya sendiri lho, karena
 BPJS hanya menanggung 160 ribu untuk control). 
Hasil
 CTG menunjukan sudah mulai ada kontraksi dan VT sudah bukaan 1, jadi 
sang bidan langsung menanyakan kapan mau SC. Tidak mungkinlah langsung 
memutuskan, jadi ditinggal pulang dan tidur dengan perasaan yang campur 
aduk. Untungnya anak ke tiga dan kehamilan ke empat, jadi buffernya 
masih cukup untuk tidak jadi baper. Pilihan saya dan suami sudah mantap,
 mencoba untuk melahirkan normal dan tidak bersedia di steril. Sang 
dokter kami cuekin dan berniat kembali ke dokter semula.
Besoknya
 jalan jalan ke RS MK ketemu dr Titin, menurut beliau semuanya masih 
baik baik dan ditunggu hingga 9 November. Kalau belum ada kontraksi 
tanggal 9 di jadwalkan untuk SC, dalam hati sempat terbersit untuk minta
 SC tanggal 10 kan pas hari Pahlawan, keren dong anak laki laki lahir di
 hari pahlawan. Kami pulang dengan legowo, siap dengan segala 
kemungkinan.
Tiga minggu masa cuti 
sudah terlewati, tanggal 1 november berlalu,bersamaan dengan ultah 
Ninop, tanggal 4 november bersamaan dengan aksi besar dijakarta juga 
sudah berlalu, baby masih saja betah di rahim mamanya. Opung sampai 
akhirnya pulang kembali ke Kota Pinang karena sudah 2 minggu menunggu. 
Setelah sebelumnya bubid Siti Rohma dari Klinik Mutiara Bunda 
memperkirakan seminggu lagi baru baby akan launching. Bayi memang punya 
waktunya sendiri untuk lahir, hanya saja rasanya sabar itu terlalu berat
 waktu itu.
Penantian yang benar 
benar menguras pikiran dan emosi, ditambah kondisi rumah dan segala 
macam permasalahannya yang membuat tidak nyaman. Bisikan bisikan untuk 
menyerah dan SC saja bahkan sudah mampu menggoyahkan keinginan untuk 
berusaha melahirkan normal. Tidak ada yang salah dengan melahirkan 
secara SC, menurutku secara pribadi adalah bagaimana pola pikir kita 
menyikapinya. Perjuangan untuk bisa melahirkan sesuai harapan akan 
sangat membantu perjuangan parenting selanjutnya. Bukan hanya sekadar 
bagaimana cara bayi lahir, kita masih punya tugas bagaimana bayi kita 
tumbuh dan berkembang nantinya. 
Penghiburan
 datang setiap kali lihat di layar USG bahwa dedek bayi masih baik baik 
saja, placenta sudah mulai ada pengapuran, tapi air ketuban dalam volume
 yang cukup. Secara fisik ibu sehat, tapi penantian memang terkadang 
menyakiti perasaan.
Tanggal 9 pun 
tiba tanpa ada tanda tanda kontraksi selain kontraksi palsu. Kami 
mencoba untuk mencari opini ke 4 dengan menggunakan BPJS ke RS Siloam di
 Cikarang. Sedari pagi jam 8 mengantri, di panggil di meja pendaftaran 
jam 11, dan mendapatkan jadwal dokter  jam 12. Bertemu dengan Dr. Aditya
 aku ceritakan riwayat kehamilan terdahulu dan harapan untuk bisa 
melahirkan normal. Beliau menjelaskan bahwa melahirkan normal di rs 
tidak ditanggung BPJS, sementara untuk SC meskipun kelas 1 ditanggung 
BPJS tapi beliau menyarankan untuk upgrade.  Terutama karena SC pertama 
di Jepang yang beliau khawatirkan aku akan shock jika membandingkan 
dengan SC disini. Tetapi dengan bijak beliau menjelaskan pilihan tetap 
di tanganku. Di layar USG baby masih baik baik saja, tapi hasil CTG juga
 menunjukan sudah ada kontraksi dan bukaan juga sudah 1 longgar (sama 
dengan pemeriksaan 2 minggu sebelumnya di RS OI). Tenteramnya di hati 
adalah beliau bisa menunggu 3 hari lagi, dan kalaupun tetap menggunakan 
fasilitas BPJS beliau tetap bersedia menjadi dokter yang akan membantu 
proses kelahiran sang baby. Menurut beliau, baby sudah siap lahir kapan 
saja, dan tinggal kami memilih tempat melahirkan dengan nyaman. Akan 
tetapi aku disarankan untuk ekstra peka dengan kondisi kehamilanku, 
segera ke rumah sakit jika merasa ada yang aneh dengan gerakan bayi atau
 sesuatu yang tidak biasa.
Sepanjang
 perjalanan pulang, aku dan suami sepakat untuk menunggu dan kalaupun 
pada akhirnya memilih untuk SC kami memilih untuk SC di RS MK yang 
relative lebih dekat dan dengan Dr Titin yang sudah lebih mengetahui 
riwayat  kehamilanku.
Sampai rumah 
rasanya sudah capek sekali seharian di RS, makan malam dan mendampingi 
ichiko belajar dengan sisa sisa tenaga, jam 9 sudah masuk kamar untuk 
tidur. Sambil mendengar lagi hillsong “I surrender”  mata akhirnya 
terpejam juga. Jam 10 tiba tiba merasa ada yang turun di perut, dan 
sakit diperut mulai terasa berbeda. Aku mencoba untuk tidur karena masih
 berpikiran ini adalah kontraksi palsu seperti biasanya. Ternyata 
kontraksi makin intens setiap 5 menit, dan aplikasi HP pun sudah 
menyarankan untuk segera menghubungi nakes. Membangunkan si papa yang 
baru terpejam matanya, malah disuruh menunggu pagi saja. Mulailah beres 
beres tas yang sudah disiapkan sejak lama, sempat mandi dan ganti baju, 
makan roti dan minum madu.
Jam 12 
rasa nikmatnya gelombang sudah tidak bisa tertahankan lagi rasanya, 
sambil tetap goyang inul di bola, papa dibangunkan dan kaget melihat aku
 yang sudah siap sambil meringis ringis. Mbahnya anak anak dipamitin 
untuk jaga, dan kaget karena tidak menyangka akhirnya tanda tanda tiba 
juga. Ku sms dokter Titin untuk minta advise, karena tujuan kita adalah 
ke RS MK. Di mobil berdua si papa, memegang handle diatas pintu mobil 
setiap kontraksi datang, kontraksi tambah nikmat apalagi saat  melewati 
garis pengurang kecepatan yang biasa di sebut polisi tidur.
Sudah
 mendekati RS MK belum ada balasan dari dokter Titin, malah si Papa 
akhirnya memutuskan untuk cus ke mutiara bunda setelah sebelumnya aku 
menelepon ibu bidan Siti Rochma dan beliau standby di klinik. Bukan 
perjalanan yang gampang meskipun jalanan sepi karena sudah lewat tengah 
malam, banyaknya  polisi tidur (apa sih namanya sebenarnya ya), membuat 
kontraksi makin intens. Gelombang kontraksi kunikmati sendiri karena 
tidak mungkin meremas tangan si papa yang sedang menyetir mobil.
Sesampainya
 di klinik pukul 01.30, masih berdiri sebentar menikmati gelombang 
kontraksi. Dan sewaktu diperiksa bubid sudah bukaan 4, efek goncangan di
 mobil sepertinya. Sewaktu control bubid sempat mengungkapkan harapannya
 semoga tiba diklinik sudah bukaan 3 lho. Mulailah bubid membantu 
mengarahkan, mbak siti dan asisten yang satunya juga memijat punggung 
yang ternyata bener bener membantu ,melewati gelombang cinta yang luar 
biasa ini. Karena memang siangnya sudah capek tenagapun  sepertinya 
sudah tidak ada, beruntung bubid menyediakan kurma dan teh manis yang 
harus selalu dikonsumsi setiap jedah kontraksi.  Kontraksi ini memang 
tidak sesilent waktu melahirkan Dininove, tapi teknik pernafasan yang 
pernah dipelajari sangat membantu untuk menikmatinya. Sekitar jam 3.30 
diperiksa bubid sudah bukaan 8 dan makin disuruh jongkok setiap 
kontraksi datang,dan tidak boleh berbaring melainkan tetap goyang diatas
 bola gym.
Kalau ditanya sakitkah 
kontraksinya, jujur ini sakit sekali. Kadang kepingin juga seperti orang
 yang melewati kontraksi tanpa rasa sakit,melahirkan yang cepat , tapi 
setiap orang kan punya jalannya masing masing. Setiap kontraksi tiba aku
 affirmasikan bahwa rasa sakit ini tidak seberapa jika dibandingkan 
dengan bahagianya menimang baby dan bisa melihat langsung sang bayi yang
 sudah berbulan bulan di dalam rahim kita.Kalau sakitnya hampir mencapai
 limit, aku affirmasikan bahwa hal inilah yang aku nanti selama ini 
karena artinya sudah dekat waktunya aku akan menimang sang baby. Sambil 
berdoa minta kekuatan Tuhan, aku tetap berharap tetap kuat untuk 
melewati proses ini. Susahnya berusaha tersenyum setiap gelombang 
kontraksi datang.  Tangan si papa jadi korban untuk melampiaskan rasa 
sakit, bukan melawan rasa sakitnya tapi lebih mencoba menikmatinya tanpa
 teriakan teriakan. 
Waktu keinginan
 mengejan mulai datang, aku reflek menggeram karena desakan dibawah 
semakin kuat. Sewaktu hendak diperiksa bubid ketuban pecah, dan bubid 
mengatakan waktunya akan tiba sebentar lagi. Beliau meminta izin untuk 
menunaikan sholat subuh dan menyusui anaknya yang juga baru berusia 3 
bulan. Setelah subuh baby akan lahir menurut beliau. Beliau sempat 
menanyakan apakah aku mau water birth atau mau dikasur saja, tapi 
sungguh aku sudah tidak bisa memutuskan lagi. Aku yang sudah dalam 
kondisi pasrah tidak bisa memutukan apapun.
Setelah
 azan subuh, bubid memasuki ruangan dan siap mendampingi untuk 
melahirkan. Ternyata dengan posisi tidur telentang aku tidak punya 
tenaga sama sekali, bahkan lupa cara mengejan dengan benar. Bubid 
memperbolehkan aku untuk mengejan dengan posisi miring, dan ternyata ini
 adalah posisi yang tapat. Dua kali mengejan dengan posisi miring tapi 
baby belum keluar juga, tapi masih bisa makan kurma dan minum teh manis,
 sempat lagi berkata ke bubid bahwa sekali ini baby akan lahir.
Benar
 saja waktu gelombang tiba, aku seperti punya kekuatan untuk mengejan 
dengan kuat, dibantu bubid dan asistennya aku kembali keposisi telentang
 dan tidak ingat apa yang mereka lakukan tapi dengan sekali sentakan 
panjang babypun lahir. Ini berbeda dengan ninov yang aku masih bisa aku 
rasakan bagaimana kepala leher dan bahunya mulai keluar dari dalam 
tubuhku.
Sang baby lahir dengan 
cepat, ternyata disertai lilitan tali placenta pada leher, pundak, 
tangan dan paha. Menurut bubid ketuban sudah keruh dan tali plasenta 
sudah mengalami pengapuran. Lilitan ini sudah berkali kali diungkapkan 
oleh Dr Irwan, bahkan beliau bergurau untuk membelikan kalung karena 
sepertinya si baby menyukai kalung.
10
 November 2016 pukul 04.30 pagi, bayi lelaki kami lahir ke dunia dengan 
panjang 53 cm dan berat 3800 gram. Just in perfect time! Aku sering 
berdoa minta melahirkan waktu siang hari, atau di saat lalu lintas tidak
 padat (macet adalah horror yang mengerikan disini). Sewaktu diletakan 
di dadaku, sambil menunggu placenta lahir, kepeluk dan kucium, kubisikan
 bahwa cinta kami dan penyertaan Tuhan menyertai kehadirannya di dunia. 
Meskipun kakak kakaknya tidak ikut menyambut (Ichiko dulu ikut melihat 
waktu adeknya lahir tapi mungkin belum mengerti), tapi kami berdua papa 
mamanya menyambut kehadirannya dengan cinta dan doa.
Pada
 akhirnya kesakitanku berakhir dengan manis, kami memberinya nama 
SENOPATI ICHIRO RAJAGUKGUK (sang panglima anak lelaki pertama dikeluarga
 Rajagukguk). Senopati bisa juga berarti SEpuluh November emPAt 
TIgapuluh. Lahir di hari pahlawan kami berharap Seno akan menjadi lelaki
 berjiwa pahlawan yang tidak pantang menyerah dan tidak mengenal rasa 
takut. Dan semoga langkah kakinya akan selalu berada dalam jalan yang 
dikehendaki oleh Tuhan.  Berkat besar ini kami terima dengan pinta pada 
Tuhan semoga kami diberi berkat dan karunia untuk membesarkan anak anak 
kami dalam jalanNya.  Benarlah bahwa tidak ada alasan untuk tidak 
bersyukur, tidak ada pembenaran untuk setiap sungut sungut.
Memiliki
 pengalaman melahirkan dengan SC, melahirkan normal dan juga melahirkan 
di air membuat aku menyadari bahwa memberdayakan diri untuk belajar 
adalah bagian yang harus dilakukan oleh ibu hamil. Berusahalah dan 
ikhlaskanlah hati untuk menerima semua kemungkinan.  Percayalah, bagian 
kita adalah untuk belajar dan berusaha, Tuhan yang akan mengambil 
bagianNya dengan indah apapun caranya. Dukungan keluarga dan suami 
memegang peranan sangat penting, aku menyadari kalau bukan suami 
tercinta yang tetap ingin anaknya lahir secara normal mungkin aku juga 
sudah menyerah. Apapun latar belakang di balik semua itu, tetaplah 
keteguhan hati itu memberi kekuatan yang tidak terduga. 
Terima
 kasih untuk para dokter dengan berbagai advisenya, aku belajar untuk 
tidak mengatakan dokter ini salah atau dokter itu bagus. Semua ini 
membuat wawasanku semakin luas dan menyadari bahwa kita memang harus 
banyak belajar. Dalam ilmu kedokteran tidak ada semutlak matematika di 
mana 1+1=2. Bercermin pada pekerjaanku yang selalu berhubungan dengan 
tanaman yang sakit.  Selalu ada syarat dan ketentuan yang berlaku, kita 
yang harus bisa memutuskan apakah kita akan menurut dan percaya 
sepenuhnya apa kata dokter, atau kita memilih mendengar pendapat lain 
baru bisa memutuskan.
Terimakasih 
bubid Siti Rochma dan team di klinik Mutiara Bunda Cikarang, yang sudah 
membantu dua kelahiran anak anakku. Terima kasih untuk pembelajaran 
selama dua proses melahirkan, terimakasih untuk kesabarannya, untuk 
dukungan dan bantuannya selama ini. Semoga makin banyak ibu ibu yang 
bisa belajar dan melahirkan dengan damai dan penuh sukacita.
Mimie (Mamanya IDS)